Dalang Wayang Kulit Kondang Asal Jawa Timur:
Wayang kulit adalah salah satu seni tradisional Indonesia yang sangat populer dan terkenal di seluruh dunia. Seni wayang kulit berasal dari budaya Jawa dan Bali. Di Jawa Timur sendiri terdapat lima dalang wayang kulit terkemuka.
Wayang kulit terbuat dari lembaran kulit binatang, biasanya kulit kerbau, yang telah dikeringkan. Dalam pertunjukan wayang kulit, kisah yang biasanya diceritakan adalah Ramayana dan Mahabharata dalam versi Jawa. Narasi wayang kulit seringkali berkaitan dengan tema utama berupa kebaikan melawan kejahatan.
Wayang kulit juga memiliki gaya tutur dan keunikan yang menjadi maha karya asli dari Indonesia. UNESCO pun telah memasukkan wayang kulit ke dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia pada 2003.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalang atau pemain wayang kulit memainkan peran penting sebagai pengendali wayang dan pengisi suara. Dalang juga bertanggung jawab atas cerita dan musik yang dimainkan selama pertunjukan. Wayang kulit biasanya diiringi musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga, serta tembang yang dinyanyikan para pesinden.
Ki Dalang Piet Asmoro
Dalang Piet Asmoro merupakan seniman pedalangan yang hidup di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Ki Piet Asmoro lahir sekitar 1914 di Peterongan, Jombang.
Ia mengasah bakat pedalangannya dengan belajar seni di Pasinaonan yang didirikan RAA Kromo Adinegoro. RAA Kromo merupakan Bupati Mojokerto sekitar tahun 1930-an.
Tempat belajar seni karawitan dan wayang itu diasuh seorang abdi dalem bupati yang bernama Ki Tjondrowisastro. Selain itu, ia juga belajar pedalangan dengan Ki Dalang Goenarso di Waru, Sidoarjo.
Ilmu yang didapat dari Ki Tjondrowisastro dan Ki Goenarso itulah, yang kemudian menjadi gaya Ki Piet Asmoro dalam mendalang.
Ki Piet Asmoro merupakan pelopor wayang kulit Jawa Timuran atau Jekdong, yang saat ini dikenal dengan gaya Trowulanan atau juga bisa disebut gaya Mojokertoan.
Kreasi Ki Piet Asmoro berbeda dari dalang-dalang lain pada masanya. Hingga kini, gayanya masih menjadi kiblat dari pedalangan Jawa Timuran.
Ki Dalang Piet Asmoro menjadi dalang kondang pada 1960-an. Kesuksesan dalam dunia pedalangan ia rasakan ketika berbagai pertunjukan wayangnya direkam, serta diputar di radio-radio. Termasuk RRI Surabaya.
Pada masanya, publik juga menilai Ki Piet Asmoro setara dengan dalang kondang lainnya di masa itu, seperti misalnya Ki Narto Sabdo.
Pada 1971, Piet Asmoro menulis buku berjudul Tuntunan Karawitan Jawa Timur yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Kabupaten Mojokerto. Buku tersebut menjadi buku acuan yang diajarkan di sekolah-sekolah seni.
Perjalan Ki Piet Asmoro sebagai seniman pedalangan semakin diakui ketika dirinya diundang ke Istana Negara pada 1972. Di sana, ia mendapat penghargaan Anugerah Seni yang diberikan langsung oleh Presiden RI kedua, Soeharto. Ki Piet Asmoro wafat pada 14 Juni 1987, di usianya yang ke-73 tahun.
Ki Suleman merupakan dalang yang lahir pada 11 November 1939 di Dusun Karangbangkal, Gempol, Pasuruan. Desa yang juga menjadi tempatnya bertumbuh besar hingga menjadi dalang yang tenar tersebut, merupakan kiblat budaya dan pusat kreativitas yang ditandai dengan digelarnya event kebudayaan di masa itu, setidaknya sampai pada 1965.
Disebutkan bahwa kakeknya, Mbah Sarman merupakan dalang tenar. Ayahnya yang bernama Draham juga dalang kenamaan pada zamannya. Konon, ayahnya mengisahkan bahwa kakeknya tersebut senang bertirakat dan adus bengi ning segara kidul (mandi malam di pantai selatan).
Kecintaannya pada seni pewayangan telah tumbuh sejak kecil, ketika dirinya diajak keliling untuk mendalang. Oleh karena itu, Ki Suleman bercita-cita menjadi penerus orang tuanya untuk mendalami pedalangan wayang.
Tak hanya sekadar mendalang, ia juga belajar mengarang gendhing-gendhing yang membuatnya semakin terkenal akan kepiawaiannya. Akhirnya, ia menjadi dalang yang tiap tahun manggung di Jakarta. Seperti di Taman Mini, Istana Negara, dan tempat-tempat lain di Jakarta.
Meskipun telah meraih kepopuleran dalam bidang pedalangan, dirinya tetap memilih mengabdikan diri sebagai 'dalangnya masyarakat dan orang-orang tani'.
Ki Sorwedi merupakan dalang asal Sidoarjo yang gigih melestarikan kesenian wayang Jawa Timuran. Tak heran dunia pedalangan begitu mendarah daging dalam dirinya, sebab ia lahir dari darah keturunan seniman dalang.
Mengutip situs Cak Durasim, Ki Sorwedi berlajar seni dalang dari ayahnya, Ichwan yang merupakan seorang dalang laris tanggapan di kawasan Sidoarjo dan sekitarnya.
Selain itu, ia juga berguru kepada Ki Suleman, yang merupakan seorang dalang senior asal Gempol. Selain menjadi dalang, ia juga mendirikan Forum Latihan Dalang Jawa Timuran (Forladaja) pada 1 Februari 2006.
Forum ini berhasil menggaet 12 dalang. Di antaranya Ki Bambang Sugiyo, Raden Ngabehi Sugilar, Ki Abas, Ki Wardono, Ki Matius, Ki Saean, Ki Kartono, dan Ki Yohan Susilo.
Setiap dua pekan sekali, forum ini membahas mengenai permasalahan dalam dunia pedalangan gaya Jawa Timuran, yang nyaris dilupakan. Berbagai diskusi ini kemudian menghasilkan ide untuk membuat buku tuntunan pedalangan gaya Jawa Timuran, agar bisa dijadikan acuan pembelajaran wayang gaya Jawa Timuran utamanya bagi para generasi penerus.
Buku balungan lakon wayang gaya Jawa Timuran yang pertama terbit dengan judul Layang Kandha Kelir, yang diterbitkan oleh penerbit Bagaskara Jogjakarta tahun 2007.
Ki Sugilar lahir pada 1953 di Mojokerto. Ia merupakan anak dari 5 bersaudara. Mengutip situs Cak Durasim, Ki Sugilar dianggap 'kewahyon' oleh keluarganya, dan harus meneruskan profesi dalang yang telah turun-temurun sejak zaman kakek canggahnya.
Sejak kecil, ia senang bermain wayang dari rumput atau 'wayang suket' bersama teman-temannya. Ia juga pernah menimba ilmu pedalangan (nyantrik) kepada beberapa dalang kondang Jawa Timuran di masa itu, seperti Ki Suwoto Gozali, Kyai Giman dan Ki Joko Buang.
Ki Dalang Minto Dharsono
Ki Minto Dharsono atau Suminto adalah dalang wayang kulit terkemuka yang berasal dari Tulungagung, Jawa Timur. Selain sebagai dalang, Ki Minto Dharsono juga merangkap sebagai pejabat Kepala Desa Pakisrejo, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.
Ia terkenal dengan ceritanya yang pakem dan kebolehannya memainkan tokoh wayang siapapun. Ki Minto Dharsono juga pernah menjadi juara lomba dalang tingkat Jawa Timur yang diselenggarakan PEPADI Surabaya.
Ia memiliki grup karawitan bernama New Sekargadung. Ki Minto Dharsono sering mengadakan pagelaran wayang kulit yang disiarkan secara langsung melalui saluran YouTube, seperti video live streaming pagelaran wayang kulit "Semar Mbangun Kayangan" pada 2019.
Ki Dalang Suwoto Ghozali
Ki Dalang Suwoto Ghozali merupakan dalang kondang asal Porong, Sidoarjo. Ia dikenal sebagai dalang yang piawai memainkan tokoh wayang, serta pandai membuat alur cerita yang menarik dan menghibur penonton.
Sejumlah dalang telah berguru (nyantrik) kepadanya. Salah satunya Ki Dalang Sugilar asal Mojokerto. Diketahui, Ki Dalang Suwoto Ghozali telah berpulang dan dimakamkan di Tawangrejo.
Ki Dalang Genit Santoso
Ki Dalang Genit Santoso adalah dalang wayang kulit dan campursari yang berasal dari Trenggalek, Jawa Timur. Ia telah meraih beberapa penghargaan, termasuk 10 Penyaji Terbaik Festival Wayang Kulit Dalang Muda sebanyak tiga kali, Penata Musik Festival Campursari Desa Dongko, Trenggalek.
Ia memiliki karya CD karawitan. Ki Genit dianggap sebagai Dongke legendaris dalam Tradisi Ngitung Batih, karena telah menjadi Dongke sejak 2011. Untuk pertama kalinya, tradisi Ngitung Batih dipusatkan di Kecamatan Dongko dan masih berlangsung hingga saat ini.
Ki Genit merupakan salah satu dalang terkenal dari Jawa Timur yang telah memberikan kontribusi besar dalam melestarikan seni wayang kulit dan campursari di Indonesia.
Karakter Wayang Kulit yang Terkenal
Dikutip dari laman resmi Pemerintah Surakarta, Yudhistira adalah salah satu tokoh dari pandawa lima, ia merupakan anak tertua di Pandawa. Yudistira adalah putra pertama dari Pandu Dewanata dan Dewi Kunti. Yudhistira memiliki nama kecil yaitu Raden Puntadewa. Sosok Yudhistira digambarkan sebagai penjelmaan Dewa Yama, dan memerintah di Kerajaan Amarta. Tokoh ini memiliki karakter yang sangat bijaksana, hampir tidak pernah berbuat dusta atau berbohong seumur hidupnya, memiliki moral yang sangat tinggi, dan merupakan orang yang pemaaf.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari sumber yang sama, Bima juga merupakan tokoh dari pandawa lima, ia merupakan adik dari Yudistira. Bima memiliki nama lain yaitu Bratasena, Balawa, Birawa, Dandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Pandusiwi, Bayu Suta, Sena, Werkudara, Wijasena, dan Jagal Abilawa. Bima digambarkan sebagai jelmaan dari Dewa Bayu, yang bertempat tinggal di Kadipaten Jodipati di wilayah Indraprastha.
Tokoh ini digambarkan sebagai sosok yang kuat, bersifat kasar, dan menakutkan di mata musuh, tetapu memiliki hati yang sangat lembut. Bima memiliki senjata istimewa, yakni Gada Rujakpala dan Kuku Pancanaka. Bima memiliki sifat yang gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh, dan jujur.
Karakter wayang berikutnya adalah Arjuna. Arjuna memiliki nama lain yaitu Permadi, Janaka, Wibatsuh, Parta, Dananjaya, dan Palguna. Arjuna merupakan putra bungsu dari Prabu Dewanata dengan Dewi Kunti. Ia adalah penjelmaan dari Dewa Indra, yang memimpin kerajaan di Madukara.
Arjuna digambarkan sebagai sosok ksatria yang cerdik dan gemar berkelana, bertapa, dan menuntut ilmu. Ia juga mahir dalam ilmu peperangan. Beberapa senjata yang dimilikinya, yaitu Panah Pasupati, Busur Gandiwa, dan Terompet Dewadatta. Sosoknya digambarkan memiliki karakter yang mulia, berjiwa ksatria, mempunyai iman yang kuat, dan gagah berani.
Selanjutnya, ada Nakula. Ia adalah pandawa keempat yang memiliki nama kecil Pinten, dan merupakan salah satu putra kembar dari pasangan Pandu dan Dewi Madrim. Nakula merupakan penjelmaan dari Dewa Kembar Aswin (dewa pengobatan). Ia digambarkan sebagai sosok yang pandai dalam memainkan senjata. Dia merupakan seorang ksatria pedang yang tangguh. Nakula digambarkan sebagai karakter jujur, setia, taat pada orang tua, dapat menjaga rahasia, dan suka membalas budi.
Berikutnya, ada Sadewa yang mempunyai nama kecil Tangsen, dan merupakan saudara kembar dari Pandu dan Dewi Madrim. Sadewa merupakan penjelmaan dari Dewa Kembar Aswin. Sadewa digambarkan sebagai sosok yang ahli dalam ilmu astronomi. Dia memiliki karakter rajin, bijaksana, setia, taat pada orang tua, dapat menjaga rahasia, dan suka membalas budi.
Dikutip dari buku berjudul 'Tokoh Wayang Inspiratif' karya Pitoyo Amrih, Kresna adalah salah seorang pemimpin yang memiliki karakter baik dan berkharisma di cerita Mahabarata. Kresna lahir di negri Mandura, dibesarkan di desa terpencil bernama Widarakandang. Kresna adalah seorang raja sekaligus politisi dan diplomat ulung di jamannya. Ia merupakan putra kedua Prabu Basudewa, raja dari Mandura. Basudewa yang memiliki tiga orang putra, yaitu Baladewa, yang memiliki nama muda Kakrasana, Narayana yang ketika bergelar raja bernama Kresna, dan Rara Ireng yang kemudian dikenal dengan nama Dewi Wara Sumbadra.
Dikutip dari jurnal berjudul 'Keteladanan Tokoh Pewayangan Dalam Penerapan Prinsip Bawa Laksana Sebagai Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa' karya Anton Suwito dari Universitas PGRI Semarang, dalam kisah pewayangan Mahabarata terdapat tokoh wayang bernama Karna.
Karna adalah nama Raja Angga dalam cerita pewayangan Mahabharata. Ia menjadi pendukung utama pihak Kurawa dalam perang besar melawan Pandawa. Karna merupakan kakak tertua dari Yudistira, Bimasena, dan Arjuna. Diceritakan bahwa Karna menjunjung tinggi nilai-nilai ksatria. Meski angkuh, ia juga seorang dermawan yang murah hati, terutama kepada fakir miskin dan kaum brahmana.
Menurut legenda, Karna merupakan pendiri kota Karnal, terletak di negara bagian Haryana, India Utara. Dalam pewayangan Jawa, Karna mengetahui jati dirinya bukan dari Kresna, melainkan dari Batara Narada.
Dikutip dari sumber yang sama, tokoh Durna lahir dari keluarga Brahmana. Ia merupakan putra dari pendeta Bharadwaja, dia lahir di kota yang sekarang disebut Dehradun. Durna menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan, tetapi belajar agama dan militer bersama-sama dengan pangeran dari Kerajaan Panchala bernama Drupada.
Drupada dan Durna kemudian menjadi teman dekat. Pada masa kecilnya Drupada berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Durna pada saat menjadi Raja Panchala. Durna menikahi Krepi, adik Krepa, guru di Hastinapura. Krepi dan Drona memiliki putra bernama Aswatama.
Dikutip dari jurnal berjudul 'Analisis Karakter Tokoh Bisma' karya Melisa Florence Schillevoort dari ISI Denpasar, Bisma adalah anak dari Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga. Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Bisma berkediaman di pertapaan Talkanda.
Bisma dalam tokoh pewayangan digambarkan seorang yang sakti, di mana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina, akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja.
Bisma memiliki karakter yang sangat kuat. Ia memiliki sifat dan karakter sebagai seorang tokoh pemberani, tidak pernah gagal dalam menjalankan tugas, bersifat sebagai pendidik, pengayom dan juga pemegang teguh janji dan sumpahnya serta dalam setiap perbuatannya selalu mementingkan untuk keselarasan dunia, alam semesta dan kodrat.
Dikutip dari skripsi berjudul 'Pemikiran Ki Enthus Susmono Tentang Tokoh Sengkuni Dalam Pewayangan' yang disusun oleh Selly Aulia Defriani dari Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, tokoh wayang Sengkuni memiliki nama kecil yaitu Arya Suman. Nama lainnya Trigantalpati, Raden Swelaputra, Kesatriyan dari Plasajenar.
Ayahnya bernama Prabu Gandara dan Ibunya bernama Dewi Gandini. Ia memiliki saudara yang bernama Dewi Gandari, Arya Surabasata, dan Arya Gajaksa. Sengkuni mempunyai Istri yang bernama Dewi Sukesti melahirkan anak yang bernama Surakesti, Arya Antisura, Arya Surabasa, Dewi Antiwati.
Sengkuni memiliki postur tubuh yaitu bungkuk, pipi peyote, mulut miring, wajahnya tua. Ia memiliki sifat atau watak yang tangkas, pandai bicara, licik, curang, jahat, pendengki, senang mengadu domba, tipu daya, senang membicarakan kejelekan orang lain. Ia memiliki kesaktian ahli tata ilmu pemerintahan dan tata negara.
Demikian informasi mengenai 10 karakter wayang kulit yang terkenal. Semoga bermanfaat, Lur!
Artikel ini ditulis oleh Agustin Tri Wardani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom
Ki Dalang Sun Syahrin Eko Wahyu Widodo
Ki Sun Syahrin Eko Wahyu Widodo atau lebih dikenal Ki Sun Gondrong (Srinanjoyo) adalah dalang wayang kulit yang merupakan putra tunggal dari sinden legendaris Bu Sayem. Ia berasal dari Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung.
Ki Sun Gondrong mulai menggeluti hobi dalang sejak duduk di bangku SMP, dan darah seni yang mengalir di jiwanya menjadikan karakternya berbeda dengan dalang lainnya. Ia telah menciptakan puluhan judul lagu, termasuk yang cukup populer "Memanik" dan "Titip Kangen".
Ki Sun Gondrong juga memiliki seorang anak perempuan bernama Anting Retno Windhari, yang lebih dikenal dengan Anting Lambangasih. Ia merupakan Duta Provinsi LIDA yang mewakili Yogyakarta.
Ki Eko Kondho Prisdianto
Ki Eko Kondho Prisdianto, lahir pada 25 Mei 1972. Ia seorang dalang wayang kulit yang berasal dari Desa Kendalbulur, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Ia mulai dikenal sebagai dalang pada 1993 pada pentas pertamanya saat peringatan 40 hari wafatnya sang kakek, yang juga seorang dalang legendaris Ki Murdi Kandha Murdiyat.
Ki Eko belajar ilmu pedalangan dari kakeknya, dan mengikuti kursus mendalang di Tulungagung. Selain sebagai dalang, Ki Eko juga memiliki grup karawitan New Hamongroso dan Campursari New Kusumawardani Tulungagung.
Selama masa pandemi, Ki Eko mengadakan pertunjukan wayang online melalui saluran YouTube miliknya "Wayang Kulit Jero Omah". Hal ini menunjukkan dedikasinya dalam mempertahankan dan mengembangkan seni wayang kulit di era digital.
Ki Dalang Supangkat
Ki Dalang Supangkat merupakan dalang terkenal di Dusun Kemisik, Desa Sumbergedang, Kecamatan Pandaan, Pasuruan. Kiprahnya dalam pementasan wayang kulit tak diragukan, utamanya di kota-kota besar di Jawa Timur.
Dalam setiap pementasan wayang, dalang ini konsisten menyajikan lakon dengan utuh menggunakan dialek Jawa Timur ala Suroboyo. Pada 26 September 2018, dalang kondang asal Pasuruan tersebut mendapat penghargaan kategori maestro seni tradisi dari Kemendikbud RI, atas dedikasi dan pengabdiannya sebagai dalang wayang asal Jawa Timur.
Selain 6 dalang tersebut, sejatinya masih banyak dalang-dalang kondang Jawa Timuran lain, yang berbakat dan dicintai oleh para penggemar wayang. Khususnya wayang Jawa Timuran.
Cerita wayang kulit dikenal dengan sejumlah karakter tokohnya mulai dari Yudhistira hingga Sengkuni. Tokoh-tokoh wayang tersebut diceritakan dengan karakter masing-masing, baik protagonis maupun antagonis.
Dikutip dari laman Indonesia.go.id, wayang merupakan warisan kebudayaan Indonesia yang sudah ditetapkan oleh UNESCO. Dalam pertunjukan wayang terdapat berbagai gabungan elemen dari seni peran, suara, musik, tutur, sastra, lukis, pahat, dan juga seni perlambang.